Gunawan, Akmal (2023) KHAZANAH MODERASI BERAGAMA DALAM AL-QURAN DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA. In: KHAZANAH MODERASI BERAGAMA DALAM AL-QURAN DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA. CV BINTANG PUSTAKA MEDIA, Yogyakarta, pp. 1-270. ISBN 978-623-190-395-2
Text
BUKU KHAZANAH MODERASI BERAGAMA DALAM AL-QURAN.pdf Download (1MB) |
Abstract
Ide penulisan buku ini berawal dari rasa keingintahuan penulis terhadap konsep dan implementasi moderasi beragama berbasis Al-Quran, yang lebih lanjut dikontekstualisasikan dengan keislaman dan keindonesiaan. Mengingat, Islam dan umat Islam di Indonesia saat ini paling tidak menghadapi dua tantangan: Pertama, kecenderungan sebagian kalangan umat Islam untuk bersikap ekstrem dan ketat dalam memahami teks-teks keagamaan dan mencoba memaksakan cara tersebut ke tengah masyarakat Muslim, bahkan dalam beberapa hal menggunakan kekerasan; Kedua, kecenderungan lain yang juga ekstrem dengan bersikap longgar dalam beragama dan tunduk pada perilaku serta pemikiran negatif yang berasal dari budaya dan peradaban lain. Sependek bacaan penulis, dalam syariat Islam tidaklah dikenal pembenaran terhadap sikap ekstrem tidak pula ada sikap menyepelekan tuntunan maupun aturan syariat. Sifat pertengahan Islam sangatlah jelas pada seluruh aspek dan bidang yang diperlukan oleh manusia, baik dalam hal ibadah, muamalah, pemerintahan, perekonomian, maupun selainnya. Sifat pertengahan itulah dikenal dengan istilah wasathiyyah (moderasi). Benih isu moderasi beragama, sebenarnya telah dimulai pada era Kementerian Agama Tarmizi Taher tahun 1993-1998. Meskipun isu ini secara simbolik semakin lantang kita dengar akhir-akhir ini, lebih tepatnya di Era bapak Lukman Hakim Saifuddin, yang serius mengkaji dari sisi metodologinya berikut konten substansinya. Ada dua hal yang mendasar menjadi latar belakang dimunculkannya terma “moderasi beragama” ini. Pertama, Situasi global atau konteks dunia yang mengalami perubahan yang sangat cepat. Globalisasi berdampak pada ketiadaan batasan atau sekat-sekat baik dalam wilayah administratif maupun wilayah geografis. Artinya, globalisasi mengakui kita sebagai bagian dari warga dunia. Artinya, secara langsung atau tidak langsung kompetisi hidup ini akan semakin keras dan semakin tajam. Terlebih dengan adanya teknologi dan informasi yang semakin maju, manusia dengan mudah berkomunikasi kepada sesamanya yang berbeda negara, budaya, kesenian, bahasa, agama, adat, ataupun suku. Namun disisi lain, perkembangan tersebut tidak sedikit memunculkan pemahaman yang tidak tepat dan perilaku yang tidak semestinya. Sehingga Agama sebagai nilai sekaligus norma yang menjadi acuan atau pedoman hidup ini menghadapi tantangannya. Meskipun lebih lanjut, agama bisa dijadikan alat untuk meng-agregasi kepentingan kepentingan yang sedang berkompetisi, atau yang sering kita dengar dengan istilah “politisasi agama”. Inilah realitas yang dialami secara eksternal. Kedua, secara internal dalam konteks keindonesiaan, kita ditakdirkan sebagai bangsa yang tidak hanya pluralis/majemuk tapi juga ciri dari keindonesiaannya yang spritualis/agamis. Dalam konteks ini, meskipun Indonesia 88% Muslim, tetapi Indonesia bukan negara Islam, juga bukan negara sekuler, namun tetap tidak memisahkan agama sebagai nilai dan norma dalam aktifitas kesehariannya. Maka, dalam konteks Indonesia yang seperti itu, memahami agama sekaligus mengamalkan ajaran-ajaran agama, menjadi niscaya untuk selalu dijaga dan dipelihara, agar tidak terjerumus atau terjerembab pada pemahaman-pemahaman, apalagi mengarah pada bentuk pengamalan-pengamalan yang berlebihan, yang lalu dikenal dengan “ekstrem”. Inilah 2 latar belakang masalah yang menjadikan moderasi agama itu penting. Meskipun istilah moderasi beragama seringkali disalahpahami oleh sebagian saudara-saudara kita. Ada yang berpandangan bahwa, “Mengapa agama harus dimoderasi?” Bukankah agama itu sesuatu yang datang dari Allah, pastilah sudah sangat proporsional/moderat, yang sudah sangat sesuai dengan kemanusiaan kita? Jadi, yang dimoderasi itu bukan agamanya, tapi cara kita beragama. itulah kenapa istilahnya “moderasi beragama”, bukan “moderasi agama”. Benar, Islam tidak perlu di moderasi, tapi cara kita ber-Islam, cara kita memahami dan mengamalkan ajaran Islam, harus senantiasa dijaga pada koridornya atau pada jalurnya yang moderat, agat tidak berlebih-lebihan. Sebagai penutup, penulis tidak berkata bahwa buku ini telah menjelaskan segala aspek mengenai wasathiyyah (moderasi). Boleh jadi, hal itu masih sangat jauh. Kendati demikian, penulis tetap menghidangkannya kepada para pembaca dengan berpegang kepada kaidah; “Apa yang tidak dapat dijangkau seluruhnya, tidak wajar untuk diabaikan seluruhnya”. Semoga karya ini menambah khazanah dalam pembumian moderasi beragama di Indonesia. Kepada Allah jualah kita memohon pencerahan ilmu dan hidayah-Nya.
Item Type: | Book Section |
---|---|
Keywords / Kata Kunci: | Moderasi Beragama, Al-Quran, Indonesia |
Subjects: | Pendidikan Pendidikan Agama Islam Sosiologi |
Faculty: | Fakultas Agama Islam > Pendidikan Agama Islam S1 |
Depositing User: | Mr. Akmal Rizki Gunawan Hasibuan |
Date Deposited: | 10 Jun 2024 02:52 |
Last Modified: | 10 Jun 2024 13:23 |
URI: | http://repository.unismabekasi.ac.id/id/eprint/5393 |
Actions (login required)
View Item |